MAKALAH QIRA'AT QUR'AN LENGKAP


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Masyarakat arab merupakan komunitas dari berbagai suku yang berada diseluruh semenanjung Arab. Secara geografis ini membawa dampak pada tatanan sosial masyarakat arab, salah satu tatanan itu adalah beragamnya dialek (lahjah) yang berbeda antar satu suku dengan suku yang lain. Perbedaan semacam ini sangat wajar kalau kita melihat dari segi geografis dan sosio cultural dari masing-masing suku.

Walaupun terbagi dari berbagai dialek, namun masyarakat arab mempunyai bahasa bersama yang dapat menyatukan mereka dalam berkomunikasi, berniaga dan melakukan aktifitas lainnya.
Pada sisi lain, keragaman dialek itu juga berpengaruh pada kemampuan orang untuk melafatkan bahasa al-Qur’an. Fenomena keragaman dialek yang berpengaruh kepada kemampuan melafatkan bahasa al-Qur’an merupakan sesuatu yang natural. Dari sini membawa konsekuensi timbulnya berbagai macam bacaan (Qira’at) dalam melafatkan al-Qur’an, yang pada akhirnya direspon oleh rasulullah SAW dengan membenarkan pelafatan al-Qur’an dengan berbagai macam Qira’at. Pada perkembangan selanjutnya dipahami bahwa perbedaan bacaan dapat dijadikan sebagai sarana mempermudah untuk membaca dan  melafatkan al-Qur’an yang sesuai dengan kemampuan dan dialek seseorang.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Apa Pengertian Qira’at ?
2. Bagaimana sejarah Qira’atil Qur’an ?
3. Apa saja macam-macam Qira’at ?
4. Bagaimana metode penyampaian Qira’at ?

1.1  Tujuan
1.      Memahami Pengertian Qira’at
2.      Memahami sejarah Qira’atil Qur’an
3.      Memahami macam-macam Qira’at
4.      Memahami metode penyampaian Qira’at

1.2  Manfaat
Supaya kami semua dan para pembaca memahami ilmu-ilmu yang berhubungan dengan al-Qur’an dan dapat menerapkannya dalam kajian al-Qur’an serta mampu mengenal dan menjelaskan Qira’at dalam al-Qur’an.



BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Qira’at
            Menurut bahasa, qira’at (قراءات) adalah bentuk jamak dari qira’ah (قراءة) yang merupakan isim masdar dari qaraa (قرأ), yang artinya : bacaan.
Pengertian qira’at  menurut istilah cukup beragam. Hal ini disebabkan oleh keluasan makna dan sisi pandang yang dipakai oleh ulama tersebut. Berikut ini akan diberikan dua pengertian qira’at menurut istilah.
            Qira’at menurut al-Zarkasyi merupakan perbedaan lafal-lafal al-Qur'an, baik menyangkut huruf-hurufnya maupun cara pengucapan huruf-huruf tersebut, sepeti takhfif, tasydid dan lain-lain.
            Dari pengertian di atas, tampaknya al-Zarkasyi hanya terbatas pada lafal-lafal al-Qur'an yang memiliki perbedaan qira’at saja. Ia tidak menjelaskan bagaimana perbedaan qira’at itu dapat terjadi dan bagaimana pula cara mendapatkan qira’at itu.
            Ada pengertian lain tentang qira’at yang lebih luas daripada pengertian dari al-Zarkasyi di atas, yaitu pengertian qira’at menurut pendapat al-Zarqani.
Al-Zarqani memberikan pengertian qira’at sebagai : “Suatu mazhab yang dianut oleh seorang imam dari para imam qurra’ yang berbeda dengan yang lainnya dalam pengucapan al-Qur’an al-Karim dengan kesesuaian riwayat dan thuruq darinya. Baik itu perbedaan dalam pengucapan huruf-huruf ataupun pengucapan bentuknya.”
            Ada beberapa kata kunci dalam membicarakan qiraat yang harus diketahui. Kata kunci tersebut adalah qira’at, riwayat dan tariqah. Berikut ini akan dipaparkan pengetian dan perbedaan antara qira’at dengan riwayat dan tariqah, sebagai berikut :
            Qira’at adalah bacaan yang disandarkan kepada salah seorang imam dari qurra’ yang tujuh, sepuluh atau empat belas; seperti qira’at Nafi’, qira’at Ibn Kasir, qira’at Ya’qub dan lain sebagainya.
            Sedangkan Riwayat adalah bacaan yang disandarkan kepada salah seorang perawi dari para qurra’ yang tujuh, sepuluh atau empat belas. Misalnya, Nafi’ mempunyai dua orang perawi, yaitu Qalun dan Warsy, maka disebut dengan riwayat Qalun ‘anNafi’ atau riwayat Warsy ‘an Nafi’.
            Adapun yang dimaksud dengan tariqah adalah bacaan yang disandarkan kepada orang yang mengambil qira’at dari periwayat qurra’ yang tujuh, sepuluh atau empat belas. Misalnya, Warsy mempunyai dua murid yaitu al-Azraq dan al-Asbahani, maka disebut tariq al-Azraq ‘an Warsy, atau riwayat Warsy min thariq al-Azraq. Bisa juga disebut dengan qira’at Nafi’ min riwayati Warsy min tariq al-Azraq.

2.2 Sejarah Qira’atil Qur’an
Pada periode awal kaum muslimin memperoleh ayat-ayat al-Qur’an langsung dari nabi saw, kepada para sahabat dan dari sahabat ini kemudian kepada para tabi’in serta para imam-imam qiraat pada masa selanjutnya. Pada masa Nabi saw, ayat-ayat ini diperoleh dari nabi dengan cara mendengarkan, membaca lalu beberapa sahabat menghafalkannya. Sehingga pada periode ini al-Qur’an belum dibukukan, pedoman dasar bacaan dan pelajarannya langsung bersumber dari Nabi saw, serta para sahabat yang hafal al-Qur’an. Hal ini berlangsung hingga masa para sahabat yang pada perkembangannya al-Qur’an dibukukan atas dasar iktiar dari khalifah Abu Bakar dan inisiatif Umar bin Khattab.
Pada perkembangan berikutnya, al-Qur’an justru tertata lebih rapi karena khalifah Usman berinisiatif untuk menyalin mushaf dan dicetak lebih banyak untuk kemudian disebarkan kepada kaum muslimin di berbagai kawasan. Langkah ini ditempuh oleh Utsman bin Affan karena pada waktu itu terjadi perselisihan diantara sesama kaum muslimin tentang perbedaan bacaan yang mereka terima, maka dengan dasar inilah diketahui sejarah awal terjadinya perbedaat Qira’at yang kemudian dipadankan oleh Utsman bin Affan dengan cara menyalin mushaf itu menjadi satu bentuk yang sama dan mengirimnya ke berbagai daerah. Dengan cara seperti ini maka tidak aka nada lagi perbedaan, karena seluruh mushaf yang ada di daerah-daerah kaum muslimin semuanya sama, yaitu mushaf yang berasal dari khalifah Utsman bin Affan.
Setelah masa itu, maka muncullah para qurra’ (para ahli dalam membaca al-Qur’an), merekalah yang menjadi panutan di daerahnya masing-masing dan dari bacaan mereka dijadikan pedoman serta cara-cara membaca al-Qur’an.
Perkembangan selanjutnya ditandai dengan munculnya masa pembukuan qira’at. Para ahli sejarah menyebutkan bahwa orang yang pertama kali menuliskan ilmu qira’at  adalah Imam Abu Ubaid al-Qasim bin Salam yang wafat pada tahun 224 H. Ia menulis kitab yang diberi nama al-Qira’at yang menghimpun qiraat dari 25 orang perawi. Pendapat lain menyatakan bahwa orang yang pertama kali menuliskan ilmu qiraat adalah Husain bin Usman bin Tsabit al-Baghdadi al-Dharir yang wafat pada tahun 378 H.  Dengan demikian mulai saat itu qira’at menjadi ilmu tersendiri dalam ‘Ulum al-Qur’an.
            Menurut Sya’ban Muhammad Ismail, kedua pendapat itu dapat dikompromikan. Orang yang pertama kali menulis masalah qiraat dalam bentuk prosa adalah al-Qasim bin Salam, dan orang yang pertama kali menullis tentang qira’at sab’ah dalam bentuk puisi adalah Husain bin Usman al-Baghdadi.
            Pada penghujung Abad ke III Hijriyah, Ibn Mujahid menyusun qira’at Sab’ah dalam kitabnya Kitab al-Sab’ah. Dia hanya memasukkan para imam qiraat yang terkenal siqat dan amanah serta panjang pengabdiannya dalam mengajarkan al-Qur’an, yang berjumlah tujuh orang. Tentunya masih banyak imam qira’at yanng lain yang dapat dimasukkan dalam kitabnya.
            Ibn Mujahid menamakan kitabnya dengan Kitab al-Sab’ah hanyalah secara kebetulan, tanpa ada maksud tertentu. Setelah munculnya kitab ini, orang-orang awam menyangka bahwa yang dimaksud dengan ahruf sab’ah  adalah qira’at sab’ah oleh Ibn Mujahid ini. Padahal masih banyak lagi imam qira’at lain yang kadar kemampuannya setara  dengan tujuh imam qira’at dalam kitab Ibn Mujahid
            Abu al-Abbas bin Ammar mengecam Ibn Mujahid karena telah mengumpulkan qira’at sab’ah. Menurutnya Ibn Mujahid telah melakukan hal yang tidak selayaknya dilakukan, yang mengaburkan pengertian orang awam bahwa Qiraat Sab’ah itu adalah ahruf sab’ah seperti dalam hadis Nabi itu. Dia juga menyatakan, tentunya akan lebih baik jika Ibn Mujahid mau mengurangi atau menambah jumlahnya dari tujuh, agar tidak terjadi syubhat.
            Banyak sekali kitab-kitab qiraat yang ditulis para ulama setelah Kitab Sab’ah ini. Yang paling terkenal diantaranya adalah :  al-Taysir fi al-Qiraat al-Sab’i yang diisusun oleh Abu Amr al-Dani, Matan al-Syatibiyah fi Qira’at al-Sab’i karya Imam al-Syatibi, al-Nasyr fi Qira’at al-‘Asyr karya Ibn al-Jazari dan Itaf Fudala’ al-Basyar fi al-Qira’at al-Arba’ah ‘Asyara karya Imam al-Dimyati al-Banna.  Masih banyak lagi kitab-kitab lain tentang qira’at yang membahas qiraat dari berbagai segi secara luas, hingga saat ini.

2.3 Macam-Macam Qira’at
Dalam kitab Zubdah Al-Itqon Fil Ulumil Qur’an karya Dr. Muhammad bin Alwi Al-Maliki bahwa imam Al-Jaziri mengelompokkan Qira’ah dalam lima bagian, yaitu:
1.      Mutawatir, yaitu Qira’at yang dinukil oleh sejumlah orang yang tidak mungkin bersepakat dalam kedustaan dari oerang-orang yang seperti mereka hingga ke akhir sanad, dan ini yang dominan di dalam Qira’at.
2.      Masyhur, yaitu yang sanadnya shahih namun tidak sampai ke tingkatan Mutawatir, sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan rasm, terkenal di kalangan para Imam Qurra’, dan mereka tidak menganggapnya keliru atau ganjil. Dan para Ulama menyebutkan bahwa Qira’at jenis ini boleh diamalkan bacaannya.
3.      Ahad, yaitu yang sanadnya shahih, namun menyelisihi rasm atau menyelisihi kaidah bahasa Arab, atau tidak terkenal sebagaimana terkenalnya Qira’at yang telah disebutkan. Dan yang ini tidak diamalkan bacaannya. Dan di antara contohnya adalah yang diriwayatkan oleh Imam al-Hakim rahimahullah dari Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membaca:
متكئينعلىرفارفخضروعباقريحسان
Qira’at di atas dalam mushaf dibaca:
مُتَّكِئِينَعَلَىرَفْرَفٍخُضْرٍوَعَبْقَرِيٍّحِسَانٍ (76)
”Mereka bertelekan pada bantal-bantal yang hijau dan permadani yang indah.” (QS. Ar-Rahman: 76)
Dan juga yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwasanya beliau membaca: (surat At-Taubah ayat 128)
لَقَدْجَآءَكُمْرَسُولٌمِّنْأَنْفَسِكُمْ… {128}
Dengan menfathahkan huruf Fa’ dalam مِّنْأَنْفَسِكُمْ (padahal di Qira’at yang lain dengan menkasrahkan Fa’)
4.      Syadz, yaitu yang tidak shahih sanadnya. Seperti Qira’at:
مَلَكَيَوْمَالدِّينِ {4}
Dengan kata kerja bentuk lampau, yaitu مَلَكَ (malaka) dan mem-fathah-kan kata يَوْمَ (di Qira’at yang benar dengan meng-kasrah-kannya).
5.      Maudhu’, atau palsu yaitu yang tidak ada asal-usulnya.

Imam Suyuthi menambahkan jenis qira’ah yang keenam yaitu Qira’ah Mudraj, atau yang disisipi, yaitu ucapan yang ditambahkan dalam Qira’at (yang shahih) sebagai bentuk penafsiran. Seperti Qira’at Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma:
{ لَيْسَعَلَيْكُمْجُنَاحٌأَنْتَبْتَغُوافَضْلامِنْرَبِّكُمْفيمواسمالحج . فَإِذَاأَفَضْتُمْمِنْعَرَفَاتٍ… }
Dan ucapan فيمواسمالحج adalah tafsir yang disisipkan dalam ayat.
Jumhur ulama berpendapat bahwa Qira’at Sab’ah adalah Mutawatir, dan selain yang Mutawatir dan Masyhur maka tidak boleh membaca dengannya, baik dalam shalat maupun di luar shalat.
Imam an-Nawawi rahimahumullah berkata dalam Syarh al-Muhadzadzab:”Tidak boleh membaca dengan Qira’at Syadz di dalam shalat mapupun di luar shalat, karena ia bukan al-Qur’an. Karena al-Qur’an tidak ditetapkan kecuali dengan nukilan yang Mutawatir, dan Qira’at Syadz tidak Mutawatir. Dan barang siapa yang berkata dengan selain ini maka ia adalah orang yang keliru dan bodoh. Maka jika seseorang menyelisihi dan membaca dengan Qira’at Syadz, maka Qira’atnya diingkari, baik di dalam shalat maupun di luar shalat. Dan para ulama Baghdad telah sepakat bahwa barang siapa yang membaca dengan Qira’at Syadz maka ia diminta bertaubat. Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah menukil Ijma’ (kesepakatan) seluruh kaum Muslimin tentang tidak diperbolehkannya membaca dengan Qira’at Syadz, dan juga tidak diperbolehkannya shalat di belakang imam yang membaca Qira’at ini (Syadz).”
                                                                                                                
2.4 Metode Penyampaian Qira’at
Menurut Dr. Muhammad bin Alawi Al-Maliki dalam bukunya berjudul Zubdah al-itqan fi ulumil Qur’an mengatakan, bahwa di kalangan ahli hadits ada beberapa periwayatan atau penyampaian qira’ah diantaranya:
a.       Mendengar langsung dari guru (al-Sima’)
b.      Membacakan teks atau hafalan didepan guru (al-Qira’ah ‘ala al-Syaikh)
c.       Melalui ijazah dari guru kepada murid
d.      Guru memberikan sebuah naskah asli kepada muridnya atau salinan yang dikoreksinya untuk diriwayatkan (al-Munalah)
e.       Guru menuliskan sesuatu untuk diberikan kepada muridnya (Mukatabah)
f.       Wasiat dari guru kepada para murid-muridnya
g.      Pemberitahuan tentang qira’ah tertentu (al-I’lam)
h.      Hasil temuan (al-Wijadah)

Para imam qira’ah, baik salaf maupun kholaf dalam meriayatkan lebih banyak menggunakan metode qira’ah ‘ala as-Syaikh. Metode ini juga digunakan oleh Nabi saw. Ketika beliau menyodorkan bacaan al-Qur’an di hadapan Jibril pada setiap bulan Ramadhan. Adapun metode Al-Sima’ tidak digunakan oleh para imam qira’ah dengan beberapa alasan:
1.      Karena yang mendengar langsung dari Nabi hanyalah para sahabat. Sedang mayoritas para imam qira’ah tidak pernah mendengarkan secara langsung dari Nabi saw.
2.      Setiap murid yang mendengar langsung dari gurunya tidak mampu secara persis meriayatkan apa yang telah didapat dari gurunya. Sedang para sahabat dengan kualitas kefasihan yang baik, mereka mampu menyampaikan al-Qur’an sama persis seperti yang mereka dengarkan dari Nabi.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat kita simpulkan bahwasanya:
1.      Qira’at adalah cara membaca ayat-ayat al-Qur’an yang dipilih dari salah seorang imam ahli qira’at yang berbeda dengan cara ulama’ lain serta didasarkan atas riwayat yang mutawatir sanadnya yang selaras dengan kaidah-kaidah bahasa arab yang terdapat dalam salah satu mushaf Usmani.
2.      Qira’at ini muncul pada Nabi Muhammad saw sampai sekarang.
3.      Macam-macam qira’at dibagi menjadi lima bagian yaitu Qira’ah Mutawatir, Qira’ah Masyhur, Qira’ah Ahad, Qira’ah Syadz, Qira’ah Maudlu’.
4.      Metode penyampaian Qira’at yaitu mendengar dari guru, membaca didepan guru, melalui ijazah, melalui naskah dari guru, melalui tulisan, wasiat, melalui pemberitahuan (al-I’lam), hasil temuan.

3.2 Saran                                                                                                                   
Dengan sangat menyadari bahwa makalah kami masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu kami menyarankan kepada pembaca untuk memberikan sumbangan saran serta kritikan dalam memperbaiki makalah kami untuk yang akan datang.





DAFTAR PUSTAKA

Channa AW, M.Ag, Dra. Liliek. 2010. Ulum Al-Qur’an dan Pembelajarannya. Surabaya: Kopertais IV Press.
Anwar M.Ag, Prof. Dr, H. Rosihon. 2009. Pengantar Ulumul Qur’an. Bandung: Pustaka Setia.
Djalal H.A, Pof. Dr. H. Abdul. 1997. Ulumul Qur’an. Surabaya: Dunia Ilmu.
Abdullah Mawardi. 2011. Ulumul Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Belajar.


(lustrasi gambar www.insanmadinah.com)


MAKALAH TIRTA YATRA LAPORAN KTI

“TIRTA YATRA”


Disusun Oleh:
-------------------------------------------------

SMA NEGERI 1 PURWOHARJO
BANYUWANGI
2016


KATA PENGANTAR
OM SWASTYASTU

Puji astungkara  penulis panjatkan kehadirat Ida Sang Hyang Widhi wasa  karena berkat kertawaranugraha-Nya laporan yang berjudul “TIRTA YATRA” ini dapat diselesaikan dengan tepat waktu. Laporan ini berisikan tentang perjalanan sembahyang siswa siswi SMAN 1 PURWOHARJO di Bali.

Berbagai hambatan telah penulis hadapi dalam penyusunan laporan ini, namun berkat bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak, hambatan tersebut dapat penulis atasi. Untuk itu, penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Drs.H.rodiwanto, M.M selaku Kepala SMAN 1 Purwoharjo
2. Bapak  Joko Purwanto, S.pd selaku guru pembimbing kami
3.  Pihak-pihak yang telah mendukung dan membantu kami dalam menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah ini Kami menyadari bahwa Karya Tulis Ilmiah ini disusun dengan berbagai keterbatasan sehingga kritik dan saran sangat kami harapkan.

OM SANTI SANTI SANTI OM

Banyuwangi, April 2016

Penulis


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1. PENGERTIAN
2.1.   MAKNA
3.1. T UJUAN
4.1.  MANFAAT TIRTA YATRA

BAB II TEMPAT SUCI YANG DIKUNJUNGI
1.2. TIRTA EMPUL
1.1.2  Mitologi
1.1.3  Pembangunan pura
2.2.    PURA ULUN DANU BATUR
3.2.   PURA BESAKIH

BAB III  PENUTUP
4.3 KESIMPULAN
5.3 SARAN
6.3 KESAN DAN PESAN

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 PENGERTIAN


 Tirtha-yatra berasal dari kata tirtha dan yatra. Tirtha berarti air suci, air kehidupan, atau nectar, tempat-tempat suci yang ada air sucinya. Tirtha juga berarti orang-orang suci, sebab orang-orang suci umumnya berada di tempat-tempat suci yang ada air sucinya. Atau, orang-orang suci juga disebut sebagai tirtha karena orang-orang suci mempunyai kekuatan suci untuk menyucikan orang, seperti halnya kekuatan yang dimiliki oleh tempat-tempat suci atau tirtha. 

Di Bali tirta berarti air suci yang sudah dimohonkan kepada Tuhan yang mana sudah menjadi wangsuh pada dari Tuhan dan sudah mendapat berkat dari Tuhan. Air itu ( tirta ) walaupun dibuat dari air aqua atau air pancuran, tetapi tidak lagi menjadi air biasa karena sudah melalui suatu proses upacara keagamaan atau spiritual tertentu sehingga ia telah menjadi tirta. Tirta bisa juga berarti tempat suci. Di India ada tempat suci yang kesuciannya melebihi tempat suci yang lain. Tempat suci itu disebut  chardame. Char atinya empat dan dame artinya tempat yang sangat suci. Keempat tempat suci itu yaitu :

1. Bradrinat  yang ada di Himalaya tempat Rsi Wiyasa bertapa. Goa tempat bertapa sampai sekarang masih ada.
2. Edarnat tempat pemujaan kepada Dewa Siwa.
3. Jamuna Sri tempat munculnya Sungai Jamuna
4. Gangga Sri tempat munculnya Sungai Gangga.

Siapun yang berhasil mengunjungi keempat tempat suci ini  kemoksaan atau pembebasan duniawai terjamin. Oleh karena itu sangat jarang ada orang berhasil ke sana. Walaupun tempat ini melebihi tempat lain kesuciannya, namun pergi ke sana tidak disebut Darmayatra tapi tetap disebut Tirtayatra. Yatra berarti perjalanan.

Jadi, Tirthayatra berarti perjalanan suci mengunjungi tempat-tempat suci, perjalanan suci untuk menyucikan diri, perjalanan suci untuk bertemu dengan orang-orang suci, perjalanan suci untuk penyucian diri dari dosa-dosa. 

Kata tirtha secara tata bahasa Sanskerta disebutkan  berasal dari akar kata “tr” yang berarti “tiryate anena” (dengan mana diseberangkan), dengan mana orang diseberangkan dari lautan dosa.  Istilah lain yang mempunyai arti yang sama dengan Tirthayatra adalah “tirthatana”, “tirthabhigamana”. Orang-orang yang melakukan tirtayatra disebut Tirtayatri  yang di India disebut yatri saja. Disamping Tirtayatra ada istilah lain yang mirip dengan Tirtayatra adalah Dharmayatra. Dharmayatra biasanya lebih tepat untuk menyebutkan orang-orang yang melakukan perjalanan suci untuk menyebarkan dharma. Sebagai contoh perjalanan yang dilakukan Rsi Agastya yang datang ke Indonesia untuk menyebarkan ajaran dharma.

Tirta yatra merupakan yadnya agung yang sangat mulia,  oleh karena itu ia merupakan keharusan untuk dilakukan oleh setiap orang. Tirtayatra tidaklah harus diartikan melakukan persembahyangan ke beberapa tempat suci. Bagi yang kurang mampu (daridra) tetap bisa melakukan tirta yatra ke dalam diri karena di dalam diri juga ada tirta. Jadi tirta yatra ke dalam diri ini berarti membersihkan diri ke dalam. Tirta yatra merupakan yadnya agung yang sangat mulia. Tirta yatra berarti suatu perjalanan suci mengunjungi tempat-tempat suci, perjalanan suci untuk menyucikan diri, perjalanan suci untuk bertemu dengan orang-orang suci, perjalanan suci untuk penyucian diri dari dosa-dosa. Dalam melaksanakan tirta yatra patutlah didasari dengan pikiran yang jernih serta suci. Tidaklah patut bagi seseorang yang melaksanakan tirta yatra memiliki pikiran yang kotor. Untuk menghindari hal tersebut kita diwajibkan agar mengendalikan diri dan mengekang hawa nafsu.

Meningkatkan kesucian pribadi serta memperkuat keimanan kepada Ida Sang Hyang Widi, menghayati nilai-nilai sejarah dari objek suci yang dikunjungi, dan mengimbangi dosa dengan perbuatan-perbuatan dharma merupakan tujuan dari pelaksanaan tirta yatra. 

Dalam tirta yatra yang telah dilaksanakan, kami telah dapat mengetahui sejarah pura-pura yang kami kunjungi melalui pembuatan laporan ini, diantaranya adalah Pura besakih, Pura Ulun Danu Batur, dan Pura Tirta Empul. Kami berharap dengan melaksanakan tirta yatra ini, kami dapat memperkuat keimanan terhadap Sang Hyang Widhi dan dapat meningkatkan kesucian pribadi masing – masing.  


2.1 MAKNA 

Makna tirta yatra dari aspek spiritual adalah sebagai salah satu sarana untuk meningkatkan keyakinan umat Hindu terhadap agamanya. Sedangkan jika ditinjau dari aspek sosial, makna tirta yatra adalah menumbuhkan kesadaran keumatan diantara umat Hindu.

Bagi kami tirta yatra memiliki makna sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Ida Sang Hyang Widhi, meningkatkan keimanan, dan kesucian rohani serta dalam melaksanakan tirta yatra patutlah didasari dengan pikiran yang jernih serta suci. Tidaklah patut bagi seseorang yang melaksanakan tirta yatra memiliki pikiran yang kotor. Untuk menghindari hal tersebut kita diwajibkan agar mengendalikan diri dan mengekang hawa nafsu.

3.1 TUJUAN
Tujuan dari pelaksanaan tirtayatra terdapat dalam beberapa sloka, seperti sloka di bawah ini :

1.      Reg Weda I.23.22
Bunyinya :
IDAM APAH PRA VAHATA YAT KIM CA DURITAM MAYI, YAD VAHAM ABHIDUDROHA YAD VA SEPA UTANRTAM
 Artinya :
Ya Tuhan Yang Maha Esa penguasa air lenyapkan dan sucikan segala kesalahan atau dosa-dosa kami meskipun kami telah mengetahui bahwa perbuatan itu mesti tidak kami lakukan atau tidak benar.

2.      Reg Weda I.23.23
Bunyinya : 
APO ADYANV ACARISAM RASENA SAM AGASMAHI, PAYASVAN AGNA A GAHI SAM PRAYAYA SAM AYUSA
Artinya :
Sekarang kami menerjunkan diri kedalam air, kami menyatu dengan kekuatan yang menjadikan air ini, semoga kesucian yang tersembunyi dalam air ini menyucikan dan memberikan kekuatan suci kepada kami.

3.      Reg Weda X.17.10
Bunyinya :
APO ASMAN MATARAH SUNDHAYANTU GHRTENA NO GHRTAPVAH PUNANTU VISVAM HI RIPRAM PRAVAHANTI DEVIR UD ID ABHYAH SUCIR A PUTA EMI
Artinya :
Semoga air suci ini menyucikan kami, bercahaya gemerlapan; semogalah pembersih ini membersihkan kami dengan air suci; semoga air suci ini mengusir segala kecemaran; sungguh kami bangkit memperoleh kesucian dari padanya.

4.      Sarasamuscaya 277
Bunyinya :
AKRODHANASCA RAJENDRA SATYA, SILO DRDHAWRATAH, ATMOPAMASCA BHUTESU SA, TIRTHAPHALAMASNUTE
Artinya :
Orang yang berprilaku tidak marah, teguh pada brata, kasih sayang terhadap sesama mahluk, akan mendapat pahala dari perjalanannya mendapatkan tirta suci.

5.      Sarasamuscaya 279
Bunyinya :
SADA DARIDRAIRAPI HI SAKYAM PRAPTUM NARADHIPA TIRTHABHIGAMANAM PUNYAM YAJNERAPI WISISYATE
Artinya :
Keutamaan tirthayatra itu amat suci, lebih utama daripada pensucian dengan yadnya yang lain dan dapat dilakukan oleh yang tidak punya harta.
Berdasarkan sloka-sloka dari kitab suci yang telah disebutkan di atas, tujuan tirta yatra adalah :
1.      Meningkatkan kesucian pribadi dan memperkuat keimanan kepada Ida Sang Hyang Widi dengan memperluas cakrawala memandang keagungan-Nya sehingga manusia makin teguh mengamalkan ajaran Dharma.
2.      Menghayati nilai-nilai sejarah dari objek suci yang dikunjungi.
3.      Mengimbangi dosa dengan perbuatan-perbuatan dharma. Istilah mengimbangi dosa digunakan karena menurut kepercayaan Hindu, dosa seseorang akan melekat pada atman sebagai karmawasana sesuai dengan ketentuan hukum karma phala.

4.1 MANFAAT TIRTA YATRA

Adapun manfaat dari Tirtayatra antara lain : 
1. Dengan Tirthayatra kita meningkatkan Sraddha, keyakinan atau keimanan. Kita datang menuju tempat suci yang jauh melakukukan Bhakti, sembahyang, Japa, Meditasi dan pembacaan kitab suci dan menyanyikan Dharmagita. 

2. Dengan Tirthayatra terjadilah proses penyegaran kembali terhadap mental dan fisik kita, yang sebelumnya mungkin jenuh akibat rutinitas, melakukan aktivitas sehari-hari.




BAB II
TEMPAT SUCI YANG DIKUNJUNGI

Dalam pelaksanaan Tirta yatra kami mengunjungi  beberapa tempat suci, diantaranya :

1.2 TIRTA EMPUL

Tirta Empul adalah sebuah pura yang terletak di Desa Manukaya, Kecamatan Tampak Siring, Kabupaten Gianyar, Bali. Lokasinya tepat di sebelah Istana Presiden di Tampak Siring yang dulu dibangun oleh presiden Soekarno.

1.1.2 Mitologi

  Diceritakan bahwa Raja Mayadenawa bersikap sewenang–wenang dan tidak mengijinkan rakyat untuk melaksanakan upacara-upacara keagamaan untuk mohon keselamatan dari Tuhan Yang Maha Esa. Setelah perbuatan itu diketahui oleh Para Dewa, maka para dewa yang dikepalai oleh Bhatara Indra menyerang Mayadenawa. Mayadenawa kalah dan melarikan diri hingga di sebelah Utara Desa Tampak siring. Dengan kesaktiannya ia menciptakan sebuah mata air beracun mengakibatkan laskar Bhatara Indra yang mengejarnya gugur akibat minum air tersebut. Melihat hal ini Bhatara Indra segera menancapkan tombaknya dan "air keluar dari tanah" (Tirta Empul). Air Suci ini dipakai memerciki para Dewa sehingga tidak beberapa lama bisa hidup lagi seperti sedia kala.

2.1.2 Pembangunan pura

 Pura Tirta Empul dibangun pada 962 M selama wangsa Warmadewa (dari abad ke-10 hingga ke-14), di tempat adanya mata air besar. Di sisi kiri pura terdapat sebuah vila modern di atas bukit, dibangun untuk kunjungan Presiden Sukarno dalam tahun 1954, yang sekarang digunakan sebagai tetirah bagi tamu-tamu penting.


2.2 PURA ULUN DANU BATUR

Ulun Danu Batur adalah sebuah pura yang terletak di Desa Batur, Kintamani, Bangli, Bali sebagai stana dari Bhatara Wisnu. Berwisata Ke Pura Ulun Danu Batur Kintamani Bali – Jika kita mencari ‘Pura Ulun Danu’ di google map dengan mengetikkan kata kunci ‘Pura Ulun Danu’ ke pencarian google map maka anda akan mendapati dua tempat yang berbeda di hasil pencarian anda. Satu pura ulun danu terletak di dekat danau beratan kecamatan baturiti tabanan, dan satu lagi pura ulun danu yang terletak di dekat danau batur daerah kintamani.

Loh kok bisa ada dua pura ulun danu di bali? iya memang namanya sama, akan tetapi tempatnya yang berbeda. Namun pura ulun danu di batur letaknya tidak tepat di pinggiran danau, namun dari pura ini anda masih bisa melihat indahnya danau batur dan gunung batur sekaligus.

Pura Ulun Danu yang terletak di dekat danau beratan biasa dikenal dengan Pura Ulun Danu Beratan, dan Pura Ulun Danu yang terletak di dekat danau batur biasa dikenal dengan nama Pura Ulun Danu Batur. Pura Ulun Danu memiliki sebuah arti yakni Pura yang letaknya di hulu sebuah danau. Pada postingan sebelumnya, kami sudah membahas tentang pura ulun danu yang berada di dekat danau beratan, dan kini kami akan membahas tentang pura ulun danu yang berada di dekat danau batur kintamani bali.

Keindahan Pura Ulun Danu Batur
Pura ulun danu batur atau yang lebih dikenal sebagai pura batur ini berlokasi di desa kalanganyar kecamatan kintamani bangli atau tepatnya di pinggir jalan singaraja-denpasar. Dulunya pura ini terletak di lereng barat daya gunung batur, namun setelah bencana gunung batur meletus di tahun 1917 mengakibatkan areal pura ini hancur. Namun masih ada satu buah pelinggih yang tetap berdiri kokoh menjulang keatas setelah bencana tersebut.

Kemudian oleh bendasa atau kepala daerah setempat bersama warga sekitar, pura ulun danu ini dipindahkan ke tempat yang memiliki dataran yang lebih tinggi yakni di tempatnya yang sekarang ini. Pura ulun danu batur terletak di ketinggian 900 meter dari permukaan air laut. Ini membuat udara di sekitaran pura ini menjadi sangat sejuk dan sedikit dingin. Tak jarang kabut tebal menyelimuti tempat ini tatkala udara dingin yang menyebar di daerah kintamani.

Pura ulun danu batur adalah objek wisata pelengkap bagi para wisatawan yang berkunjung ke danau batur atau ke gunung batur. Wisatawan yang gemar dengan objek-objek wisata seni arsitektur dan
bernilai sejarah akan merasa senang ke pura ini. Pura ulun danu sangatlah megah dan besar, terdapat banyak candi bentar yang menjulang tinggi bagaikan mencakar langit. Selain pada candi-candi yang megah, terdapat berbagai macam meru yang memiliki tingkat yang berbeda-beda.

Namun sebelumnya, untuk menikmati seluruh objek wisata yang ada di dalam pura ulun danu batur ini, para wisatawan asing maupun lokal harus mengenakan sebuah kamen ataupun kain yang di ikatkan di pinggang menyerupai rok panjang. Ini adalah sarana khusus yang digunakan para umat hindu untuk dapat memasuki pelataran sebuah pura.

Peta Lokasi Pura Ulun Danu BaturFasilitas di sekitaran pura ulun danu ini sudah sangat memadai, tak jauh dari pura ini anda sudah dapat menemukan restoran dan tempat parkir yang luas. Untuk menuju ke pura ulun danu ini, jika anda dari singaraja atau dari pantai lovina maka anda akan menempuh jarak sekitar 60 kilometer dari pantai lovina dengan waktu tempuh sekitar 2,5 jam. Namun jika anda dari pusat kota denpasar maka anda akan menempuh jarak sekitar 50 kilometer dengan waktu tempuh 2 jam. – Berwisata Ke Pura Ulun Danu Batur Kintamani Bali

3.2 PURA BESAKIH


  Komplek Pura Besakih terdiri dari 1 Pura Pusat (Pura Penataran Agung Besakih) dan 18 Pura Pendamping (1 Pura Basukian dan 17 Pura Lainnya). Di Pura Basukian, di areal inilah pertama kalinya tempat diterimanya wahyu Tuhan oleh Hyang Rsi Markendya, cikal bakal Agama Hindu Dharma sekarang di Bali, sebagai pusatnya. Pura Besakih merupakan pusat kegiatan dari seluruh Pura yang ada di Bali. Di antara semua pura-pura yang termasuk dalam kompleks Pura Besakih, Pura Penataran Agung adalah pura yang terbesar, terbanyak bangunan-bangunan pelinggihnya, terbanyak jenis upakaranya dan merupakan pusat dan semua pura yang ada di komplek Pura Besakih. Di Pura Penataran Agung terdapat 3 arca atau candi utama simbol stana dari sifat Tuhan Tri Murti, yaitu Dewa Brahma, Dewa Wisnu dan Dewa Siwa yang merupakan perlambang Dewa Pencipta, Dewa Pemelihara dan Dewa Pelebur/Reinkarnasi. Pura Besakih masuk dalam daftar pengusulan Situs Warisan Dunia UNESCO sejak tahun 1995.


Filosofi
 Keberadaan fisik bangunan Pura Besakih, tidak sekadar menjadi tempat pemujaan terhadap Tuhan YME, menurut kepercayaan Agama Hindu Dharma, yang terbesar di pulau Bali, namun di dalamnya memiliki keterkaitan latar belakang dengan makna Gunung Agung. Sebuah gunung tertinggi di pulau Bali yang dipercaya sebagai pusat Pemerintahan Alam Arwah, Alam Para Dewata, yang menjadi utusan Tuhan untuk wilayah pulau Bali dan sekitar. Sehingga tepatlah kalau di lereng Barat Daya Gunung Agung dibuat bangunan untuk kesucian umat manusia, Pura Besakih yang bermakna filosofis.
Makna filosofis yang terkadung di Pura Besakih dalam perkembangannya mengandung unsur-unsur kebudayaan yang meliputi:

1. Sistem pengetahuan,
2. Peralatan hidup dan teknologi,
3. Organisasi sosial kemasyarakatan,
4. Mata pencaharian hidup,
5. Sistem bahasa,
6. Religi dan upacara, dan
7. Kesenian.

Ketujuh unsur kebudayaan itu diwujudkan dalam wujud budaya ide, wujud budaya aktivitas, dan wujud budaya material. Hal ini sudah muncul baik pada masa pra-Hindu maupun masa Hindu yang sudah mengalami perkembangan melalui tahap mitis, tahap ontologi dan tahap fungsional.

Objek penelitian
Berdasar sebuah penelitian, bangunan fisik Pura Besakih telah mengalami perkembangan dari kebudayaan pra-hindu dengan bukti peninggalan menhir, punden berundak-undak, arca, yang berkembang menjadi bangunan berupa meru, pelinggih, gedong, maupun padmasana sebagai hasil kebudayaan masa Hindu.
Latar belakang keberadaan bangunan fisik Pura Besakih di lereng Gunung Agung adalah sebagai tempat ibadah untuk menyembah Dewa yang dikonsepsikan gunung tersebut sebagai istana Dewa tertinggi.
Pada tahapan fungsional manusia Bali menemukan jati dirinya sebagai manusia homo religius dan mempunyai budaya yang bersifat sosial religius, bahwa kebudayaan yang menyangkut aktivitas kegiatan selalu dihubungkan dengan ajaran Agama Hindu.

Dalam budaya masyarakat Hindu Bali, ternyata makna Pura Besakih diidentifikasi sebagai bagian dari perkembangan budaya sosial masyarakat Bali dari mulai pra-Hindu yang banyak dipengaruhi oleh perubahan unsur-unsur budaya yang berkembang, sehingga memengaruhi perubahan wujud budaya ide, wujud budaya aktivitas, dan wujud budaya material. Perubahan tersebut berkaitan dengan ajaran Tattwa yang menyangkut tentang konsep ketuhanan, ajaran Tata-susila yang mengatur bagaimana umat Hindu dalam bertingka laku, dan ajaran Upacara merupakan pengaturan dalam melakukan aktivitas ritual persembahan dari umat kepada TuhanNya, sehingga ketiga ajaran tersebut merupakan satu kesatuan dalam ajaran Agama Hindu Dharma di Bali.


BAB III
PENUTUP

1.3 KESIMPULAN


Tirta yatra merupakan yadnya agung yang sangat mulia. Tirta yatra berarti suatu perjalanan suci mengunjungi tempat-tempat suci, perjalanan suci untuk menyucikan diri, perjalanan suci untuk bertemu dengan orang-orang suci, perjalanan suci untuk penyucian diri dari dosa-dosa. Dalam melaksanakan tirta yatra patutlah didasari dengan pikiran yang jernih serta suci. Tidaklah patut bagi seseorang yang melaksanakan tirta yatra memiliki pikiran yang kotor. Untuk menghindari hal tersebut kita diwajibkan agar mengendalikan diri dan mengekang hawa nafsu.


Meningkatkan kesucian pribadi serta memperkuat keimanan kepada Ida Sang Hyang Widi, menghayati nilai-nilai sejarah dari objek suci yang dikunjungi, dan mengimbangi dosa dengan perbuatan-perbuatan dharma merupakan tujuan dari pelaksanaan tirta yatra.

Dalam tirta yatra yang telah dilaksanakan, kami telah dapat mengetahui sejarah pura-pura yang kami kunjungi melalui pembuatan laporan ini, diantaranya adalah Pura besakih, Pura Ulun Danu Batur, dan Pura Tirta Empul. Kami berharap dengan melaksanakan tirta yatra ini, kami dapat memperkuat keimanan terhadap Sang Hyang Widhi dan dapat meningkatkan kesucian pribadi masing – masing.

2.3 SARAN
Saran dari kelompok kami dalam melaksanakan tirta yatra adalah sebagai berikut :
2.3.1 Jagalah kebersihan pura yang kita kunjungi.
2.3.2 Dalam melaksanakan tirta yatra hendaknya kita mentaati peraturan atau tata krama yang berlaku di pura tersebut.
2.3.3 Kendalikanlah diri dan kekanglah hawa nafsu yang ada dalam diri kita.
2.3.4 Dalam melaksanakan persembahyangan hendaknya kita tertib dan khusuk.
2.3.5 Maknailah perjalanan tirta yatra yang kita laksanakan.


3.3 KESAN DAN PESAN

Kami sangat terkesan dengan perjalanan tirta yatra yang dilaksanakan pada tanggal 20 Februari 2016 dengan tujuan Pura Penataran Pucak Mangu, Pura Ulun Danu Batur, dan Pura Tirta Empul. Pura – pura yang kami kunjungi memiliki keunikan dan nilai historisnya masing – masing. Salah satunya kebersihan pura, tempatnya yang indah, dan penataannya yang rapi.

Pesan kami adalah jagalah kebersihan pura yang kita kunjungi serta tetaplah jaga prilaku kita sesuai dengan tata krama yang berlaku. Janganlah memaknai perjalanan tirta yatra sebagai suatu perjalanan yang biasa, tetapi maknailah sebagai perjalanan untuk meningkatkan keimanan, srada bakti kepada Ida Sang Hyang Widhi, dan sebagai jalan pengendalian diri kita.


DAFTAR PUSTAKA

http://wisatabaliutara.com/2014/12/berwisata-ke-pura-ulun-danu-batur-kintamani-bali.html/
https://id.wikipedia.org/wiki/Tuhan
https://id.wikipedia.org/wiki/Pura
https://id.wikipedia.org/wiki/Bali