Wednesday, 13 January 2016

MAKALAH PERMASALAHAN HUKUM DI INDONESIA

 KATA PENGANTAR

Puji dan syukur marilah kita panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat-Nya maka tersusunlah makalah ini. Makalah ini disusun guna melengkapi tugas mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan. Tidak lupa saya juga mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya bagi pihak-pihak yang mendukung tersusunnya makalah ini.
Saya  menyadari bahwa makalah ini masih sangat jauh dari sempurna, oleh karena itu saya sangat mengharapkan dan berterimakasih apabila anda memberikan kritik dan saran atas makalah ini, sehingga hal tersebut dapat memotivasi saya agar dapat berkarya dengan lebih baik lagi.



DAFTAR ISI
1.      Kata Pengantar
2.      Daftar isi

3.      BAB I Pendahuluan
A.    Latar belakang
B.     Rumusan masalah
C.     Tujuan
D.    Manfaat

4.      BAB II Pembahasan
A.    Kebijakan Penegak Hukum
B.     Problematika Penegak Hukum di Indonesia
C.     Dampak dalam Penegakan Hukum di Indonesia
D.    Ketidakpuasan  Terhadap Penegakan Hukum di Indonesia
E.     Pemecahan Problematika Penegak Hukum di Indonesia

5.      BAB III Penutupan
6.      Daftar Pustaka




BAB I
PENDAHULUAN

A.      LATAR BELAKANG
Saat ini tidak mudah untuk memaparkan kondisi hukum di Indonesia tanpa adanya keprihatinan yang mendalam mendengar ratapan masyarakat yang terluka oleh hukum, dan kemarahan masyarakat pada mereka yang memanfaatkan hukum untuk mencapai tujuan mereka tanpa menggunakan hati nurani. Dunia hukum di Indonesia tengah mendapat sorotan yang amat tajam dari seluruh lapisan masyarakat, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Dari sekian banyak bidang hukum, dapat dikatakan bahwa hukum pidana menempati peringkat pertama yang bukan saja mendapat sorotan tetapi juga celaan yang luar biasa dibandingkan dengan bidang hukum lainnya. Bidang hukum pidana merupakan bidang hukum yang paling mudah untuk dijadikan indikator apakah reformasi hukum yang dijalankan di Indonesia sudah berjalan dengan baik atau belum. Hukum pidana bukan hanya berbicara tentang putusan pengadilan atas penanganan perkara pidana, tetapi juga meliputi semua proses dan sistem peradilan pidana. Proses peradilan berawal dari penyelidikan yang dilakukan pihak kepolisian dan berpuncak pada penjatuhan pidana dan selanjutnya diakhiri dengan pelaksanaan hukuman itu sendiri oleh lembaga pemasyarakatan. Semua proses pidana itulah yang saat ini banyak mendapat sorotan dari masyarakat karena kinerjanya, atau perilaku aparatnya yang jauh dari kebaikan.
Hukum di Indonesia yang bisa kita lihat saat ini bisa dikatakan sebagai hukum yang carut marut, mengapa? Karena dengan adanya pemberitaan mengenai tindak pidana di televisi, surat kabar, dan media elektronik lainnya kita dapat mengambil kesimpulan bahwa hukum di Indonesia carut marut. Banyak sekali kejadian yang menggambarkannya, mulai dari tindak pidana yang diberikan oleh maling sandal hingga maling uang rakyat. Sebenarnya permasalahan hukum di Indonesia dapat disebabkan oleh beberapa hal diantaranya yaitu sistem peradilannya, perangkat hukumnya, inkonsistensi penegakan hukum, intervensi kekuasaan, maupun perlindungan hukum.  
Hukum Negara ialah aturan bagi negara itu sendiri, bagaimana suatu negara menciptakan keadaan yang relevan, keadaan yang menentramkan kehidupan sosial masyarakatnya, menghindarkan dari segala bentuk tindak pidana maupun perdata. Namun tidak di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini, pemberitaan di media masa sungguh tragis. Bahkan dari Hasil survei terbaru dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) menyebutkan bahwa 56,0 persen publik menyatakan tidak puas dengan penegakan hukum di Indonesia, hanya 29,8 persen menyatakan puas, sedangkan sisanya 14,2 persen tidak menjawab. Sebuah fenomena yang menggambarkan betapa rendahnya wibawa hukum di mata publik.
Dengan landasan pemikiran ini, penulis akan mencoba memaparkan mengenai kebijakan, problematika, dampak dan pemecahan penegakan hukum di Indonesia. Selain itu penulis juga akan memaparkan ketidakpuasan masyarakat terhadap penegakan hukum di Indonesia.

B.       RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah dalam perkara ini adalah sebagai berikut.
1.      Definisi kebijakan penegak hukum.
2.      Problematika penegakan hukum di Indonesia.
3.      Dampak yang timbul dari penegakan hukum di Indonesia.
4.      Ketidakpuasan masyarakat terhadap penerapannya.
5.      Solusi dan cara menghadapai permasalahan dalam penegakan hukum di Indonesia.

C.      TUJUAN
Tujuan dalam pembahasan ini adalah interpretasi terhadap rumusan permasalahan ini, yaitu.
1.      Untuk mengetahui definisi kebijakan penegak hukum.
2.      Untuk mengetahui problematika penegakan hukum di Indonesia.
3.      Untuk mengetahui dampak yang timbul dari penegakan hukum di Indonesia.
4.      Untuk mengetahui ketidakpuasan masyarakat terhadap penerapannya.
5.      Untuk mengetahui solusi dan cara menghadapai permasalahan dalam penegakan hukum di Indonesia.

D.      MANFAAT
Adapun manfaat yang diharapkan dalam pembahasan ini adalah sebagai berikut.
1.      Dapat mengetahui dasar-dasar dalam pembentukan hukum Negara Indonesia.
2.      Dapat mengetahui problematika penegakan hukum yang berlaku di Indonesia.
3.      Dapat mengetahui dampak dalam penegakan hukum di Indonesia.
4.      Dapat mengetahui kenapa masyarakat tidak puas dengan penegakan hukum di Indonesia.
5.      Dapat mengetahui dan menilai bagaimana solusi dalam pemecahan permasalahan hukum di Indonesia.
6.      Khusus bagi pemerintahan, memberikan gambaran mengenai sistem penegakan hukum yang berlaku dalam masyarakat, serta diharapkan dapat menilai, menelaah dan membuat suatu keputusan dalam pemecahan masalah penegakan hukum tersebut.

BAB II
PEMBAHASAAN

A.      Kebijakan Penegak Hukum

Kebijakan adalah kepandaian, kemahiran, kebijaksanaan; rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak pemerintah; pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip, atau maksud sebagai garis pedoman untuk manajemen dalam usaha mencapai sasaran dari haluan-haluan pemerintah mengenai moneter perlu dibahas oleh DPR (Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi III, 2005: 149).
Sedangkan penegakan adalah proses, cara, perbuatan, menegakkan. (Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi III, 2005: 1155). Selain itu hukum memiliki beberapa pengertian atau definisi dari hukum, antara lain:
Hukum adalah:
1.      Peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat, yang dikukuhkan oleh penguasa atau pemerintah;
2.      Undang-undang, peraturan, dsb untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat;
3.      Patokan (kaidah,ketentuan) mengenai peristiwa (alam, dsb) yang tertentu;
4.      Keputusan (pertimbangan) yang diterapkan oleh hakim (di pengadilan); vonis. (Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi III, 2005: 410)
Hukum adalah keseluruhan peraturan-peraturan atau kaedah-kaedah dalam suatu kehidupan bersama: keseluruhan peraturan tentang tingkah laku yang erlaku dalam suatu kehidupan bersama, yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi (Sudikno, 1999: 40).
Jadi, kebijakan penegakan hukum adalah usaha-usaha yang diambil oleh pemerintah atau suatu otoritas untuk menjamin tercapainya rasa keadilan dan ketertiban dalam masyarakat dengan menggunakan beberapa perangkat atau alat kekuasaan negara baik dalam bentuk undang-undang, sampai pada para penegak hukum antara lain polisi, hakim, jaksa, serta pengacara.
Bangsa yang beradab adalah bangsa yang menjalankan fungsi hukumnya secara merdeka dan bermartabat. Merdeka dan bermartabat berarti dalam penegakan hukum wajib berpihak pada keadilan, yaitu keadilan untuk semua. Sebab apabila penegakan hukum dapat mengaplikasikan nilai keadilan, tentulah penerapan fungsi hukum tersebut dilakukan dengan cara-cara berpikir yang filosofis.
Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia. Agar kepentingan manusia terlindungi, hukum harus dilaksanakan. Dalam penegakan hukum ada tiga unsur yang selalu harus diperhatikan, yaitu: kepastian hukum (Rechtssicherheit), kemafaatan (Zweckmassigkeit) dan keadilan (Gerechtigkeit) (Sudikno, 1999: 145).
Kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiable terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Sebaliknya masyarakat mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan atau penegakkan hukum. Hukum adalah untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau penegakan hukum harus memberi manfaat bagi masyarakat. Selain itu masyarakat sangat berkepentingan bahwa dalam pelaksanaaan atau penegakan hukum keadilan diperhatikan. Dalam pelaksanaan atau penegakan hukum harus adil (Sudikno, 1999: 146).
Dalam pasal 27 UUD 1945 dengan jelas tercantum:
“Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”
Rumusan tersebut mengandung makna bahwa semua warga negara Republik Indonesia memiliki persamaan hukum dan hak-hak yang sama di hadapan pemerintah. Dengan demikian dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak boleh ada yang dinamakan diskriminasi terhadap warga negara. Bahkan tafsiran tersebut juga menyangkut prinsip persamaan itu berlaku bagi siapa saja, apakah ia seorang warga negara atau bukan, selama mereka adalah penduduk Negara Republik Indonesia (Jimly, 2011: 110).

B.       Problematika Penegakan Hukum di Indonesia

Masalah utama penegakan hukum di negara-negara berkembang khususnya Indonesia bukanlah pada sistem hukum itu sendiri, melainkan pada kualitas manusia yang menjalankan hukum (penegak hukum). Dengan demikian peranan manusia yang menjalankan hukum itu (penegak hukum) menempati posisi strategis. Masalah transparansi penegak hukum berkaitan erat dengan akuntabilitas kinerja lembaga penegak hukum. Undang-undang No. 28 tahun 1999 tentang penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme, telah menetapkan beberapa asas. Asas-asas tersebut mempunyai tujuan, yaitu sebagai pedoman bagi para penyelenggara negara untuk dapat mewujudkan penyelenggara yang mampu menjalankan fungsi dan tugasnya secara sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab (Siswanto, 2005: 50).
Penegak hukum merupakan golongan panutan dalam masyarakat, yang hendaknya mempunyai kemampuan-kemampuan tertentu, sesuai dengan aspirasi masyarakat. Mereka harus dapat berkomunikasi dan mendapatkan pengertian dari golongan sasaran (masyarakat), di samping mampu membawakan atau menjalankan peranan yang dapat diterima oleh mereka. Selain itu, maka golongan panutan harus dapat memanfaatkan unsur-unsur pola tradisional tertentu, sehingga menggairahkan partispasi dari golongan sasaran atau masyarakat luas. Golongan panutan juga harus dapat memilih waktu dan lingkungan yang tepat di dalam memperkenalkan norma-norma atau kaidah-kaidah hukum yang baru serta memberikan keteladanan yang baik (Soerjono, 2002: 34).
Namun sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa salah satu penyebab lemahnya penegakan hukum di Indonesia adalah masih rendahnya moralitas aparat penegak hukum (hakim, polisi, jaksa dan advokat ) serta judicial corruption yang sudah terlanjur  mendarah daging sehingga sampai saat ini sulit sekali diberantas. Adanya judicial corruption jelas menyulitkan penegakan hukum di Indonesia karena para penegak hukum yang seharusnya menegakkan hukum terlibat dalam praktek korupsi, sehingga sulit diharapkan bisa ikut menciptakan pemerintahan yang baik atau good governance. Penegakan hukum hanya bisa dilakukan apabila lembaga-lembaga hukum (hakim, jaksa, polis dan advokat) bertindak profesional, jujur dan menerapkan prinsip-prinsip good governance.
Beberapa permasalahan mengenai penegakan hukum, tentunya tidak dapat terlepas dari kenyataan, bahwa berfungsinya hukum sangatlah tergantung pada hubungan yang serasi antara hukum itu sendiri, penegak hukum, fasilitasnya dan masyarakat yang diaturnya. Kepincangan pada salah satu unsur, tidak menutup kemungkinan akan mengakibatkan bahwa seluruh sistem akan terkena pengaruh negatifnya (Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah, 1987: 20). Misalnya, kalau hukum tertulis yang mengatur suatu bidang kehidupan tertentu dan bidang-bidang lainnya yang berkaitan berada dalam kepincangan. Maka seluruh lapisan masyarakat akan merasakan akibat pahitnya.
Penegak hukum yang bertugas menerapkan hukum mencakup ruang lingkup yang sangat luas, meliputi: petugas strata atas, menengah dan bawah. Maksudnya adalah sampai sejauhmana petugas harus memiliki suatu pedoman salah satunya peraturan tertulis yang mencakup ruang lingkup tugasnya. Dalam penegakkan hukum, menurut Soerjono Soekanto sebagaimana dikutip oleh Zainuddin Ali, kemungkinan penegak hukum mengahadapi hal-hal sebagai berikut:
a)      Sampai sejauhmana petugas terikat dengan peraturan yang ada,
b)      Sampai batas-batas mana petugas berkenan memberikan kebijakan,
c)      Teladan macam apakah yang sebaiknya diberikan oleh petugas kepada masyarakat,
d)     Sampai sejauhmanakah derajat sinkronisasi penugasan yang diberikan kepada para petugas sehingga memberikan batas-batas yang tegas pada wewenangnya (Zainuddin, 2006: 95).
Lemahnya mentalitas aparat penegak hukum mengakibatkan penegakkan hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya. Banyak faktor yang mempengaruhi lemahnya mentalitas aparat penegak hukum diantaranya lemahnya pemahaman agama, ekonomi, proses rekruitmen yang tidak transparan dan lain sebagainya. Sehingga dapat dipertegas bahwa faktor penegak hukum memainkan peran penting dalam memfungsikan hukum. Kalau peraturan sudah baik, tetapi kualitas penegak hukum rendah maka akan ada masalah. Demikian juga, apabila peraturannya buruk sedangkan kualitas penegak hukum baik, kemungkinan munculnya masalah masih terbuka.
Kondisi riil yang terjadi saat ini di Indonesia mengindikasikan adanya kegagalan aparat-aparat penegak hukum dalam menegakan hukum. Kegagalan penegakan hukum secara keseluruhan dapat dilihat dari kondisi ketidakmampuan (unability) dan ketidakmauan (unwillingness) dari aparat penegak hukum itu sendiri. Ketidakmampuan penegakan hukum diakibatkan profesionalisme aparat yang kurang, sedangkan ketidakmauan penegakan hukum berkait masalah KKN (korupsi kolusi dan nepotisme) yang dilakukan oleh aparat hukum sudah menjadi rahasia umum. Terlepas dari dua hal di atas lemahnya penegakan hukum di Indonesia juga dapat kita lihat dari ketidakpuasan masyarakat karena hukum yang nota benenya sebagai wadah untuk mencari keadilan bagi masyarakat, tetapi malah memberikan rasa ketidakadilan.
Akhir-akhir ini banyak isu yang sedang hangat-hangat di perbincangkan salah satunya adalah permasalahan korupsi. Kasus ini seakan sudah menjadi tradisi yang mendarah daging di bangsa ini. Penyakit korupsi melanda seluruh lapisan masyarakat bahkan yang menjadi perhatian saat ini adalah para aparat yang seharusnya menjadi penegak dalam kasus ini juga ikut terkait di dalamnya. Salah satu lembaga yang menjadi perhatian adalah lembaga peradilan.
Korupsi telah merambat dan mengotori hampir seluruh institusi penegakan hukum kita termasuk lembaga peradilan. Misalnya saja tentang salahnya penegakan hukum di Indonesia seperti saat seseorang mencuri sandal, ia disidang dan didenda hanya karena mencuri sandal seorang briptu yang harganya bisa dibilang murah, sedangkan para koruptor di Indonesia bisa dengan leluasa merajalela, menikmati hidup seakan tanpa dosa, karena mereka memandang rendah hukum yang ada di Indonesia. Kita ambil contoh Arthalyta Suryani, yang menempati ruang tahanan yang terbilang mewah dari tahanan yang lain karena lengkap dengan fasilitas televisi, kulkas, AC, bahkan sampai ruang karokean. Hal ini kemudian memperlihatkan diskriminasi di dalam pemutusan perkara oleh lembaga peradilan kita dimana rakyat miskin yang tidak mempunyai kekuatan financial seakan hukum begitu runcing kepadanya sedangkan para orang-orang yang berduit menganggap hukum itu bisa dibeli bahkan saya anggap bahwa sel tahanan mereka tidak layaklah dikatakan sebagai sel tetapi hotel sementara sedangkan rakyat miskin begitu merasakan yang namanya sel tahanan
Hukum di negara kita ini dapat diselewengkan atau disuap dengan mudahnya, dengan inkonsistensi hukum di Indonesia. Selain lembaga peradilan, ternyata aparat kepolisianpun tidak lepas dari penyelewengan hukum. Misalnya saat terkena tilang  polisi lalu lintas, ada beberapa oknum polisi yang mau atau bahkan terkadang minta suap agar kasus ini tidak diperpanjang, polisinya pun mendapatkan keuntungan materi dengan cepat namun salah tempat. Ini merupakan contoh kongkrit di lingkungan kita.
Persamaan di hadapan hukum yang selama ini di kampanyekan oleh pemerintah nyatanya tidak berjalan dengan efektif. Hukum yang berlaku sekarang di Indonesia seakan-akan berpihak kepada segelintir orang saja. Supremasi hukum di Indonesia masih harus diperbaiki untuk mendapat kepercayaan masyarakat dan dunia internasional tentunya terhadap sistem hukum Indonesia. Masih banyak kasus-kasus ketidakadilan hukum yang terjadi di negara kita. Keadilan harus diposisikan secara netral, artinya setiap orang memiliki kedudukan dan perlakuan hukum yang sama tanpa kecuali. Namun, keadaan yang sebaliknya terjadi di Indonesia. Hukum seakan tajam kebawah namun tumpul keatas. Ini terbukti dengan banyaknya kasus yang terjadi, contohnya saja kasus nenek Minah yang divonis 1,5 bulan penjara karena mencuri tiga buah kakao. Dari segi manapun mencuri memang tidak dibenarkan. Namun, kita juga harus melihat dari sisi kemanusiaan. Betapa tidak adilnya ketika rakyat kecil seperti itu betul-betul ditekan sedangkan para pejabat yang korupsi jutaan bahkan miliaran rupiah bebas begitu saja, walaupun ada yang terjerat hukuman tapi penjaranya bagaikan kamar hotel.
Sebenarnya apa yang terjadi dengan lembaga penegak hukum kita, sehingga justice for all (keadilan untuk semua) berubah menjadi justice not for all (keadilan untuk tidak semua). Hukum di negara kita ini seakan tidak memperlihatkan cerminan terhadap kesamaan di depan hukum yang merata kepada semua lapisan masyarakat tetapi terkesan tajam kebawah kepada rakyat miskin tetapi tumpul keatas terhadap mereka yang mempunyai uang. Berbagai kasus terkait dengan penegakan hukum di Indonesia yang sangat memprihatinkan menjadi cambuk atau pukulan telak serta menjadi potret buram bagi kita semua sebagai satu kesatuan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ini menjadi ironi tersendiri bagi kita.
Di Indonesia sendiri hukum dibuat berlandaskan Pancasila serta UUD 1945. Dalam penegakkan hukum di Indonesia memang terjadi beberapa masalah seperti ketidakmampuan suatu lembaga keadilan dalam memberikan keadilan itu sendiri bagi masyarakat. Keadilan dianggap suatu yang sulit untuk didapatkan terutama bagi masyarakat kelas bawah yang sekiranya merupakan golongan yang tidak mampu dalam segi materi. Sekiranya kita dapat melihat fakta yang terjadi di lapangan dengan berbagai macam kasus yang ada dan melibatkan masyarakat kelas bawah. Beberapa kasus seperti pencurian sendal yang dilakukan oleh seorang murid terhadap salah satu anggota kepolisian misalnya, terdapat berbagai kejanggalan dalam kasus tersebut seperti berbedanya sandal yang dimaksud serta adanya penganiayaan terhadap sang pelaku oleh oknum polisi tersebut. Dengan hanya mencuri sepasang sendal jepit yang kemungkinan pula bukan anak tersebut pelakunya, malah diberikan tuntutan hukuman 5 tahun penjara. Adilkah itu ? Masyarakat awam pun pasti mengetahui apa yang dimaksud keadilan. Berbeda dengan kasus yang melibatkan rakyat kecil yang seharusnya memang bisa diselesaikan dengan rasa keadilan serta kekeluargaan, para pimpinan negara yang terhormat malah melakukan banyak korupsi dan tak terselesaikan masalahnya.
Para penegak hukum antara lain hakim, jaksa, polisi, advokat dan penasihat hukum. Di tangan merekalah terletak suatu beban kewajiban untuk mengimplementasikan suatu prinsip keadilan sebagaimana yang tercantum dalam sila kedua secara optimal dan maksimal. Namun , hal sebaliknya terjadi di Indonesia. Banyak kasus penegakan hukum yang tidak berjalan semestinya. Banyak keganjalan yang terjadi didalam penegakan hukum itu seperti dengan mudahnya seseorang yang mempunyai uang mendapatkan fasilitas di ruang tahanan atau ada beberapa kasus yang sangat mengganjal keputusan yang di putuskan seperti kasus pencurian sandal diatas.
Penegakkan hukum dari aparat kepolisian juga dinilai sangat kurang, bisa dilihat dengan banyaknya penilangan kepada kendaraan bermotor yang berakhir dengan istilah UUD (Ujung-Ujungnya Duit) atau biasa disebut uang sogokkan. Serta ada pula masalah tentang kebijakkan-kebijakkan pemerintah yang dinilai kurang serta tidak didasari dengan landasan hukum yang tepat. Seperti kebijakkan bagi pengendara motor yang diharuskan menyalakan lampu utama pada siang hari yang dinilai kurang realistis. Karena menyalakan lampu pada siang hari sama saja dengan pemborosan energi, sesungguhnya cahaya matahari sudah cukup terang bagi pengguna jalan. Dan alasan karena banyaknya terjadi kecelakaan siang hari oleh para pengguna sepeda motor tentu bukan karena lampu atau cahaya yang kurang.
Dengan adanya pemanasan global dan yang dicanangkan pemerintah tentang save energy-pun dipertanyakan karena memang menyalakan lampu pada siang hari adalah pemborosan energi. Beberapa Undang-undang yang seharusnya dibuat setiap tahun dengan jumlah yang sudah ditetapkan pun molor sehingga hanya ada sedikit Undang-undang yang sudah terealisasikan. Hal ini tentu menjadi catatan bagi pemerintah yang seharusnya hukum itu untuk keteraturan serta tercipta kedamaian di negara kita menjadi begitu tidak dapat diandalkan.
Selain dengan masalah-masalah tersebut tentu dengan adanya hukum yang lemah maka ketahanan negara juga akan lemah. Bisa kita lihat dari berbagai macam kasus tentang perbatasan negara maupun pencaplokan wilayah dan budaya yang dilakukan oleh negara tetangga. Pemerintah Indonesia sangat lamban dalam mengambil sikap dalam hal pertahanan dan keamanan negara, adanya kesenjangan sosial di wilayah perbatasan Indonesia serta kota-kota lain di Indonesia serta sarana dan infrastruktur di daerah perbatasan yang sangat kurang menjadi masalah yang harus ditanggapi serius oleh pemerintah. Masyarakat perbatasan tentu merasa dianak tirikan oleh pemerintah karena tidak adanya peran pemerintah dalam mengatasi hal tersebut, dan tentu hal ini menjadi senjata bagi negara lain untuk dengan mudah mencaplok daerah perbatasan sebagai daerah negaranya karena negara tersebut mengambil hati masyarakat dengan memberi berbagai macam kebutuhan oleh negara tersebut berbeda dengan apa yang diberikan oleh pemerintah Indonesia.
Hal tersebut menyebabkan bahwa suatu hukum di Indonesia walaupun dibuat dengan berlandaskan pancasila serta UUD 1945 namun dalam pelaksanaannya tidak ada jiwa pancasila yang melekat dalam setiap penegak hukum serta pemerintah Indonesia. Dengan melemahnya hukum di Indonesia tentu sedikit demi sedikit maka keadilan di Indonesia akan terkikis dengan adanya sikap pemerintah yang seakan hanya mementingkan dirinya sendiri, jabatan dan kekuasaan politik bagi diri dan partainya
Sungguh menjadi sesuatu yang ironis ketika kepercayaan masyarakat kepada pemimpinnya menjadi berkurang, dan ketika itulah masyarakat akan menjadi merasa tersakiti serta tak mempercayai kepemerintahan negara, karena kepercayaan adalah salah satu tiang keadilan dan kemakmuran. Ketika hukum yang hanya memihak golongan tertentu maka keadilan juga akan memudar dan akan meruntuhkan derajat dan martabat negara. Dengan runtuhnya derajat negara, runtuh pula negara tersebut dan akan mudah bagi pihak-pihak yang merasa diuntungkan dengan situasi ini yaitu adanya intervensi asing dalam masalah negara.
Karena intervensi itu sendiri sudah mulai muncul ketika banyaknya media asing yang memberitakan tentang bobroknya negara ini. Sebagai salah satu contohnya dimana ada media asing yang memberitakan tentang masalah jembatan yang tak layak di Indonesia. Masyarakat terutama para siswa yang ingin bersekolah harus menantang nyawa dengan menyebrangi sungai hanya dengan seutas tali. Dimana peran pemerintah? Hanya ada janji yang entah kapan akan ditepati. Hukum memang salah satu cara untuk memberikan keadilan, dan hukum seharusnya ditegakkan dengan bijaksana, tegas dan apa adanya.
Selain beberapa faktor diatas, faktor uang juga mempengaruhi penegakan hukum di Indonesia. Beberapa kasus bisa menjadi cerminan lemahnya hukum di Indonesia ketika sudah berbenturan dengan uang, misalnya saja kasus korupsi yang menjerat nama Gayus Tambunan. Kasus ini memang sudah di selesaikan dipengadilan, tetapi walaupaun Gayus telah ditempatkan di dalam penjara, nyatanya dia masih bebas untuk berwisata ke  Bali bahkan sampai keluar negeri yaitu Makau. Ini karena lemahnya iman para petugas yang seharusnya menegakkan keadilan hukum setegak-tegaknya kalau sudah dihadapkan dengan uang. Mereka tentunya mengabulkan permintaan Gayus tersebut tidak dengan cuma-cuma, tetapi ada imbalan yang diberikan kepada para petugas tersebut. Beberapa kasus yang diungkapkan sebelumnya seperti kasus Artalita, ini semua tidak lepas dari lemahnya iman aparat yang bertugas menegakkan hukum ketika sudah di hadapkan dengan uang. Apakah ini yang di namakan “uang berbicara”? Dan apakan hukum di negeri ini semudah itu menjadi lunak?. Kalau sudah seperti itu Anda pun dapat menilainya sendiri sebenarnya apa yang telah melanda hukum di negeri tercinta kita ini, sehingga jangan heran kalau ada istilah yang kemudian muncul di masyarakat kita tentang penegakkan hukum di Indonesia yaitu KUHP (Kasih Uang Habis Perkara). Ini adalah cerminan bahwa rakyat Indonesia sudah mulai hilang kepercayaan dengan penegakan hukum yang ada di Indonesia.
Penegakan hukum yang carut-marut, kacau, dan mengesampingkan keadilan tersebut bisa saja diminimalisir kalau seandainya hukum dikembalikan kepada fungsi aslinya, yaitu untuk untuk menciptakan keadilan, ketertiban serta kenyamanan. Selain itu sebagaimana menurut Soerjono Soekanto, hukum dapat berfungsi dengan baik diperlukan keserasian dan hubungan antara empat faktor, yakni:
1.      Hukum dan peraturan itu sendiri.
Kemungkinannya adalah bahwa terjadi ketidak cocokan dalam peraturan perundang-undangan mengenai bidang-bidang kehidupan tertentu. Kemungkinan lainnya adalah ketidakcocokan antara peraturan perundang-undangan dengan hukum tidak tertulis atau hukum kebiasaan. Kadangkala ketidakserasian antara hukum tertulis dengan hukum kebiasaan, dan seterusnya.
2.      Mentalitas Petugas yang menegakkan hukum.
Penegak hukum antara lain mencakup hakim, polisi, jaksa, pembela, petugas pemasyarakatan, dan seterusnya. Apabila peraturan perundang-undangan sudah baik, akan tetapi jika mental penegak hukum kurang baik, maka akan terjadi pada sistem penegakkan hukum.
3.      Fasilitas yang diharapkan untuk mendukung pelaksanaan hukum.
Kalau peraturan perundang-undangan sudah baik dan juga mentalitas penegaknya baik, akan tetapi fasilitas kurang memadai, maka penegakkan hukum tidak akan berjalan dengan semestinya.
4.      Kesadaran dan kepatuhan hukum dari para warga masyarakat.
Namun dipihak lain perlu juga disadari bahwa penegakan hukum bukan tujuan akhir dari proses hukum karena keadilan belum tentu tercapai dengan penegakan hukum, padahal tujuan akhirnya adalah keadilan. Pernyataan di atas merupakan isyarat bahwa keadilan yang hidup di masyarakat tidak mungkin seragam. Hal ini disebabkan keadilan merupakan proses yang bergerak di antara dua kutub citra keadilan. Naminem Laedere semata bukanlah keadilan, demikian pula Suum Cuique Tribuere yang berdiri sendiri tidak dapat dikatakan keadilan. Keadilan bergerak di antara dua kutub tersebut. Pada suatu ketika keadilan lebih dekat pada satu kutub, dan pada saat yang lain, keadilan lebih condong pada kutub lainnya. Keadilan yang mendekati kutub Naminem Laedere adalah pada saat manusia berhadapan dengan bidang-bidang kehidupan yang bersifat netral. Akan tetapi jika yang dipersoalkan adalah bidang kehidupan spiritual atau sensitif, maka yang disebut adil berada lebih dekat dengan kutub Suum Cuique Tribuere. Pengertian tersebut mengisyaratkan bahwa hanya melalui suatu tata hukum yang adil orang dapat hidup dengan damai menuju suatu kesejahteraan jasmani maupun rohani (Abdul Ghofur, 2006: 55-56).
Penegakan hukum yang acap kali menciderai rasa keadilan, baik keadilan menurut pandangan yuridis maupun keadilan menurut masyarakat. Hal inilah salah satu pemicu ketidakpercayaan masyarakat terhadap kinerja aparat penegak hukum dalam menegakan hukum di tengah masyarakat. Jika kita pandang dari kacamata sosiologi hukum, kita dapat mengasumsisikan bahwa ada dua faktor yang paling menonjol yang mempengaruhi aparat penegak hukum dalam menegakan hukum yaitu faktor internal dan eksternal. Adapun faktor internal (yang berasal dari penegak hukum itu sendiri) salah satu contoh, adanya kecenderungan dari aparat penegak hukum dalam menegakan hukum berpedoman pada undang-undang semata sehingga mengesampingkan nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat. Selanjutnya faktor eksternal (yang berasal dari luar penegak hukum itu sendiri) misalnya ketika terjadi peristiwa hukum adanya kecenderungan masyarakat yang menyelasaikan dengan caranya sendiri.
Lembaga hukum merupakan lembaga penegak keadilan dalam suatu masyarakat, lembaga di mana masyarakat memerlukan dan mencari suatu keadilan. Idealnya, lembaga hukum tidak boleh sedikitpun bergoyah dalam menerapkan keadilan yang didasarkan atas ketentuan hukum dan syari’at yang telah disepakati bersama. Hukum menjamin agar keadilan dapat dijalankan secara murni dan konsekuen untuk seluruh rakyat tanpa membedakan asal-usul, warna kulit, kedudukan, keyakinan dan lain sebagainya. Jika keadilan sudah tidak ada lagi maka masyarakat akan mengalami ketimpangan. Oleh karena itu, lembaga hukum dalam masyarakat madani harus menjadi tempat mencari keadilan. Hal ini bisa diciptakan jika lembaga hukum tersebut dihormati, dijaga dan dijamin integritasnya secara konsekuen (Miftah, 2003: 218).
Jika kita berkaca kepada potret penegakan hukum di Indonesia setelah menilik dari berbagai kasus (menurut penulis) belumlah berjalan dengan baik, bahkan bisa dikatakan buruk. Lemahnya penegakan hukum di Indonesia saat ini dapat tercermin dari berbagai penyelesaian kasus besar yang belum tuntas salah satunya praktek korupsi yang menggurita, namun ironisnya para pelakunya sangat sedikit yang terjerat oleh hukum. Kenyataan tersebut justru berbanding terbalik dengan beberapa kasus yang melibatkan rakyat kecil, dalam hal ini aparat penegakkan hukum cepat tanggap, karena sebagaimana kita ketahui yang terlibat kasus korupsi merupakan kalangan berdasi alias para pejabat dan orang-orang berduit yang memiliki kekuatan (power) untuk menginterfensi efektifitas dari penegakan hukum itu sendiri.
Realita penegakan hukum yang demikian sudah pasti akan menciderai hati rakyat kecil yang akan berujung pada ketidakpercayaan masyarakat pada hukum, khususnya aparat penegak hukum itu sendiri. Sebagaimana sama-sama kita ketahui para pencari keadilan yang note bene adalah masyarakat kecil sering dibuat frustasi oleh para penegak hukum yang nyatanya lebih memihak pada golongan berduit. Sehingga orang sering menggambarkan kalau hukum Indonesia seperti jaring laba-laba yang hanya mampu menangkap hewan-hewan kecil, namun tidak mampu menahan hewan besar tetapi hewan besar tersebutlah yang mungkin menghancurkan seluruh jaring laba-laba (Jimly, 2011: 156).
Problematika penegakan hukum yang mengandung unsur ketidakadilan  mengakibatkan adanya isu mafia peradilan, keadilan dapat dibeli, munculnya bahasa-bahasa yang sarkastis dengan plesetan HAKIM (Hubungi Aku Kalau Ingin Menang), KUHAP diplesetkan sebagai Kurang Uang Hukuman Penjara, UUD (Ujung-Ujungnya Duit) tidaklah muncul begitu saja. Kesemuanya ini merupakan “produk sampingan” dari bekerjanya lembaga-lembaga hukum itu sendiri. Ungkap-ungkapan ini merupakan reaksi dari rasa keadilan masyarakat yang terkoyak karena bekerja lembaga-lembaga hukum yang tidak profesional maupun putusan hakim/putusan pengadilan yang semata-mata hanya berlandaskan pada aspek yuridis. Berlakunya hukum di tengah-tengah masyarakat, mengemban tujuan untuk mewujudkan keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan dan pemberdayaan sosial bagi masyarakatnya.

C.      Dampak dalam Penegakan Hukum di Indonesia
Penyelewengan atau inkonsistensi di Indonesia berlangsung lama bertahun-tahun hingga sekarang, sehingga bagi masyarakat Indonesia ini merupakan rahasia umum, hukum yang dibuat berbeda dengan hukum yang dijalankan, contoh paling dekat dengan lingkungan adalah, penilangan pengemudi kendaraan yang melanggar tata tertib lalu lintas. Mereka yang melanggar tata tertib lalu lintas tidak jarang ingin berdamai di tempat atau menyelewengkan hukum, kemudian seharusnya aparat yang menegakkan hukum tersebut dapat menangi secara hukum yang berlaku di Indonesia, namun tidak jarang penegak hukum tersebut justru mengambil kesempatan yang tidak terpuji itu untuk menambah pundi-pundi uangnya.
Oleh karena itu, akibat-akibat yang ditimbulkan dari masalah penyelewengan hukum tersebut diantaranya, yaitu:
1.      Ketidakpercayaan masyarakat pada hukum
Masyarakat berependapat hukum banyak merugikan mereka, terlebih lagi soal materi sehingga mereka berusaha untuk menghindarinya. Karena mereka percaya bahwa uanglah yang berbicara, dan dapat meringankan hukuman mereka, fakta-fakta yang ada diputar balikan dengan materi yang siap diberikan untuk penegak hukum. Kasus-kasus korupsi di Indonesia tidak terselesaikan secara tuntas karena para petinggi Negara yang terlibat di dalamnya mempermainkan hukum dengan menyuap sana sini agar kasus ini tidak terungkap, akibatnya kepercayaan masayarakatpun pudar.
2.      Penyelesaian konflik dengan kekerasan
Penyelesaian konflik dengan kekerasan contohnya ialah pencuri ayam yang dipukuli warga, pencuri sandal yang dihakimi warga. Konflik yang terjadi di sekelompok masyarakat di Indonesia banyak yang diselesaikan dengan kekerasan, seperti kasus tawuran antar pelajar, tawuran antar suku yang memperebutkan wilayah, atau ada salah satu suku yang tersakiti sehingga dibalas degan kekerasan. Mereka tidak mengindahkan peraturan-peraturan kepemerintahan, dengan masalah secara geografis, mereka. Ini membuktikan masayarakat Indonesia yang tidak tertib hukum, seharusnya masalah seperti maling sandal atau ayam dapat ditangani oleh pihak yang yang berwajib, bukan dihakimi secara seenakanya, bahkan dapat menghilangkan nyawa seseorang.
3.      Pemanfaatan Inkonsistensi Penegakan Hukum untuk Kepentingan Pribadi
Dari beberapa kasus di Indonesia, banyak warga Negara Indonesia yang memanfaatkan inkonsistensi penegakan hukum untuk kepentingan pribadi. Contohnya ialah pengacara yang menyuap polisi ataupun hakim untuk meringankan terdakwa, sedangkan polisi dan hakim yang seharusnya bisa menjadi penengah bagi kedua belah pihak yang sedang terlibat kasus hukum bisa jadi lebih condong pada banayknya materi yang diberikan oleh salah satu pihak yang sedang terlibat dalam kasus hukum tersebut.
4.      Penggunaan Tekanan Asing dalam Proses Peradilan
Dalam hal ini kita dapat mengambil contoh pengrusakan lingkungan yang diakibatkan oleh suatu perusahaan asing yang membuka usahanya di Indonesia, mereka akan minta bantuan dari negaranya untuk melakukan upaya pendekatan kepada Indonesia, agar mereka tidak mendapatkan hukuman yang berat, atau dicabut izin memproduksinya di Indonesia (Supriadi, 2008: 312).




D.      Ketidakpuasan Masyarakat Terhadap Penegakan Hukum di Indonesia

Ketidakpuasan masyarakat terhadap penegakan hukum di Indonesia ini merupakan fakta dan data yang ditunjukkan dari hasil survei terhadap masyarakat oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang menyebutkan bahwa 56,0 persen publik menyatakan tidak puas dengan penegakan hukum di Indonesia, hanya 29,8 persen menyatakan puas, sedangkan sisanya 14,2 persen tidak menjawab. Mereka yang tak puas terhadap penegakan hukum di Indonesia merata di semua segmen. Mereka yang tinggal di kota maupun desa, berpendidikan tinggi maupun rendah, mereka yang berasal dari ekonomi atas maupun ekonomi bawah.
Namun demikian, mereka yang tinggal di desa, berasal dari ekonomi bawah, dan berpendidikan rendah lebih tak puas jika dibandingkan dengan mereka yang berada di kota dan berpendidikan tinggi. Hal ini disebabkan karena mereka yang berada di desa dan kelompok ekonomi bawah lebih sering menghadapi kenyataan merasa diperlakukan tidak adil jika berhadapan dengan aparat hukum. Ketidakpuasaan responden terhadap penegakan hukum di Indonesia cenderung meningkat dari tahun ke tahun yaitu 37,4 persen (Survei LSI Januari 2010), sebesar 41,2 persen (Oktober 2010), sebesar 50,3 persen (September 2011), sebesar 50,3 persen (Oktober 2012), dan terakhir 56,6 persen (April 2013) (http://www.lsi.or.id/riset/).
Uraian di atas menunjukkan betapa rusaknya hukum di Indonesia. Mungkin yang tidak mendapat sorotan adalah lembaga pemasyarakatan karena tidak banyak orang yang mengamatinya. Tetapi lembaga ini sebenarnya juga tidak dapat dikatakan sempurna. Lembaga yang seharusnya berperan dalam memulihkan sifat para warga binaan (terpidana) ternyata tidak dapat menjalankan tugasnya dengan baik. Jumlah narapidana yang melebihi dua kali lipat dari kapasitasnya menjadikan nasib narapidana juga semakin buruk. Mereka tidak tambah sadar, tetapi justru belajar melakukan tindak pidana baru setelah berkenalan dengan narapidana lainnya. Tentunya ini jauh dari konsep pemidanaan yang sesungguhnya bertujuan untuk merehabilitasi terpidana. Bahkan fakta yang ada hari ini, beberapa narapidana dengan leluasanya membuat “aturan” sendiri dengan merubah hotel prodeo tersebut menjadi hotel bak bintang lima.

E.       Pemecahan Problematika Penegakan Hukum di Indonesia

Berbagai realita yang terjadi di era reformasi sampai sekarang terkait dengan penegakan hukum yang terdapat di Indonesia sudah tidak relevan dengan apa yang tertuang dalam kontitusi negara ini. Indonesia dengan berbagai macam problem tentang anarkisnya para penegak hukum, hal ini sudah tidak sesuai dengan apa yang di cita-citakan oleh para pendiri bangsa terdahulu. Berbagai hal sudah bergeser dari amanah konstitusi namun kita tidak sepantasnya untuk menyalahkan sepenuhnya kegagalan tersebut kepada para penegak hukum atau pihak-pihak yang menjalankan hukum karena bagaimana pun masyarakat adalah pemegang hukum dan tempat hukum tersebut berpijak.
Semboyan “Bhineka Tunggal Ika” merupakan entri yang sangat menuju masyarakat kewargaan. Masyarakat kewargaan pertama-tama akan mempersoalkan siapa-siapa yang termasuk ke dalam kategori warga atau kewargaan dalam masyarakat. Reformasi hukum hendaknya secara sungguh-sungguh menjadikan “eksistensi kebhinekaan” menjadi agenda dan bagaimana mewujudkan ke dalam sekalian fundamental hukum. Kalau kita belajar dari pengalaman, maka semboyan “Bhineka Tunggal Ika” lebih memberi tekanan pada aspek ”Tunggal”, sehingga memperkosa eksistensi pluralism. Demi ketunggalan atau kesatuan, pluralism tidak dibiarkan ada.
Bertolak dari pengakuan terhadap eksistensi pluralism tersebut, maka konflik adalah fungsional bagi berdirinya masyarakat. Konflik bukan sesuatu yang harus ditabukan, sebab mengakui kebhinekaan adalah mengakui konflik, sebagai sesuatu yang potensial. Dengan demikian, filsafat yang dipegang adalah menyalurkan konflik sedemikian rupa sehingga menjadi produktif buat masyarakat.  
Masalah tentang problematika penegakan hukum telah menjadi sebuah tema yang sangat menarik untuk diangkat dalam berbagai seminar. Salah satu diantaranya tidak ada kepuasaan yang dicapai subjek hukum yang tidak lain adalah manusia serta berbagai badan-badan hukum.
Saya mencoba untuk memberikan beberapa pemecahan dari berbagai problematika penegakan hukum di Indonesia. Yang pertama yakni bagaimana sikap serta tindakan para sarjana hukum untuk lebih memperluas cakrawalanya dalam memahami atau menganalisis masalah-masalah yang terjadi sekarang ini. Di sini dibutuhkan sebuah pandangan kritis akan makna atau arti penting penegakan hukum yang sebenarnya. Selain itu dibutuhkan ilmu-ilmu sosial lainnya seperti sosiologi dalam mengidentifikasi masalah-masalah sosial serta penegakan hukum yang ada dalam masyarakat agar dalam pembuatan hukum ke depannya dapat menjadikan kekurangan atau kegagalan di masa lalu sebagai bahan pembelajaran.
Namun yang perlu diingat bersama adalah adanya kesadaran dalam pelaksanaaan hukum serta adanya keadilan tanpa memandang suku, agama, ras, serta budaya seperti yang terkandung di dalam pasal 27 ayat 1 yang berbunyi sebagai berikut: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”
Kemudian yang kedua, cara untuk menyelesaikan berbagai masalah terkait hal tersebut  yakni bagaimana tindakan para aparat penegak hukum mulai dari polisi, hakim, jaksa, serta pengacara dalam menangani setiap kasus hukum dengan dilandasi nilai-nilai kejujuran, sadar akan namanya keadilan, serta melakukan proses-proses hukum sesuai dengan aturan yang ada di dalam undang-undang negara kita. Bukan hanya itu filosofi Pancasila sebagai asas kerohanian dan sebagai pandangan hidup dalam bertindak atau sebagai pusat dimana pengamalannya sesuai dengan cita-cita dan tujuan negara kita sebagaimana telah dijelaskan dalam pembukaan UUD 1945 yang terdapat pada alinea ke-IV. Hukum seharusnya tidak ditegakkan dalam bentuknya yang pa­ling kaku, arogan, hitam putih. Tapi harus berdasarkan rasa keadilan yang tinggi, tidak hanya mengikuti hukum dalam konteks perundang-undangan hitam putih semata. Karena hukum yang ditegakkan yang hanya berdasarkan konteks hitam putih belaka hanya akan menghasilkan putusan-putusan yang kontoversial dan tidak memenuhi rasa keadilan yang sebenarnya.
Cara yang ketiga yakni program jangka panjang yang perlu dilakukan yakni penerapan pendidikan karakter dalam setiap tingkatan pendidikan. Untuk mengetahui tingkat keefektifan program tersebut dalam membangun atau menguatkan mental anak bangsa ditengah penurunan kualitas sumber daya manusia bangsa Indonesia tidak semudah membalikkan telapak tangan. Namun perlu kita pupuk dulu agar nantinya generasi-generasi penerus bangsa tidak salah langkah dalam mengambil setiap keputusan. Program ini juga mempunyai implikasi positif terhadap penegakan hukum yang dijalankan di Indonesia karena para penegak hukum telah dibekali pembangunan karakter yang akan melahirkan atau menciptakan manusia Indonesia yang unggul.
Untuk cara keempat yakni adanya penghargaan bagi jaksa dan hakim berprestasi yang memberikan terobosan-terobosan dalam penegakan hukum di Indonesia. Dengan adanya penghargaan ini diharapkan setiap jaksa maupun hakim berlomba untuk memberikan terobosan yang bermanfaat bagi penegakan hukum di Indonesia.
Meskipun saat ini kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum masih sangat rendah. Keberanian lembaga-lembaga hukum bangsa ini akan menjadi titik cerah bagi penegakan hukum. Namun selain itu kesadaran masyarakat dalam menaati hukum akan menjadi hal yang mempengaruhi penegakkan hukum di Indonesia. Karena lemahnya penegakan hukum selama ini juga akibat masyarakat yang kurang menaati hukum.


BAB III
PENUTUPAN


A.      KESIMPULAN
Masalah penegakan hukum di Indonesia merupakan masalah yang sangat serius dan akan terus berkembang jika unsur di dalam sistem itu sendiri tidak ada perubahan, tidak ada reformasi di bidang itu sendiri. Karakter bangsa Indonesia yang kurang baik merupakan aktor utama dari segala ketidaksesuaian pelaksanaan hukum di negari ini. Perlu ditekankan sekali lagi, walaupun tidak semua penegakan hukum di Indonesia tidak semuanya buruk, Namun keburukan penegakan ini seakan menutupi segala keselaran hukum yang berjalan di mata masyarakat. Begitu banyak kasus-kasus hukum yang silih berganti dalam kurun waktu relatif singkat, bahkan bersamaan kejadiaannya. Perlu ada reformasi yang sebenarnya, karena permasalahan hukum ini merupakan permasalahan dasar suatu negara, bagaimana masyarakat bisa terjamin keamanannya atau bagaimana masyarakat bisa merasakan keadilan yang sebenarnya, hukumlah yang mengatur semua itu, dan perlu digaris-bawahi bahwa hukum sebanarnya telah sesuai dengan kehidupan masyarakat, tetapi pihak-pihak yang ingin mengambil keuntungan baik pribadi maupun kelompok merupakan penggagas segala kebobrokan hukum di negeri ini.
Perlu banyak evaluasi-evaluasi yang harus dilakukan, harus ada penindaklanjutan yang jelas mengenai penyelewengan hukum yang kian hari kian menjadi. Perlu ada ketegasan tersendiri dan kesadaran yang hierarki dari individu atau kelompok yang terlibat di dalamnya. Perlu ditanamkan mental yang kuat, sikap malu dan pendirian iman dan takwa yang sejak kecil harus diberikan kepada kader-kader pemimpin dan pelaksana aparatur negara atau pihak-pihak berkepentingan lainnya. Karena baik untuk hukum Indonesia, baik pula untuk bangsanya dan buruk untuk hukum di negeri ini, buruk pula konsekuensi yang akan diterima oleh masayarakat dan Negara.
Jadi, penerapan dalam pasal 1 ayat (3) UUD 1945 perubahan ketiga yang berbunyi “Negara Indonesia adalah Negara hukum”, harus dilaksanakan, karena sudah demikian ketetapan itu berlaku. Merupakan karekteristik yang harus tertanam dalam diri pribadi ataupun kelompok kepentingan. Kita harus malu dengan Undang-Undang tersebut, harus malu dengan pendiri bangsa yang rela menumpahkan darah demi memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, kita harus menghargai semua perjuangan itu dengan hal yang tidak dapat membuat negeri ini malu di mata masyarakat ini sendiri bahkan dunia luar. Bangsa yang besar tidak hanya berdasarkan luasan wilayahnya ataupun betapa banyaknya jumlah penduduk, tetapi dengan menghargai perjuangan para pahlawan terdahulu dengan menjalankan ketentuan hukum yang berlaku demi terciptanya keamanan, ketentraman dan kesejahteraan masyarakat.

B.       KRITIK DAN SARAN
Kritik dan saran sangat saya harapkan dalam makalah ini, segala kekurangan yang ada dalam makalah ini mungkin karena kelalaian atau ketidaktahuan saya dalam penyusunannya. Segala hal yang tidak relevan, kekurangan dalam pengetikan atau bahkan ketidakjelasan dalam makalah ini merupakan proses saya dalam memperlajari bidang studi ini dan diharapkan saya yang menulis ataupun bagi pembaca dapat mengambil manfaat dari makalah ini.


DAFTAR PUSTAKA
Ali, Zainuddin Ali. 2006. Filsafat Hukum. Jakarta: Sinar Grafika
Anonim. 2013. Bahan Rilis LSI_Korupsi dan Kepercayaan Publik pada Penegak Hukum.
Diunduh pada tanggal Oktober 2010 dalam
Anonim. 2013. Penegakan Hukum di Indonesia Sangat Memprihatinkan. Diakses pada tanggal 24 November 2013 dalam (http://news.okezone.com/read/2013/04/10/339/789007/
penegakan-hukum-di-indonesia-sangat-memprihatinkan)
Asshiddiqie, Jimly. 2011. Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi. Jakarta: Sinar
Grafika
Asshiddiqie, Jimly. 2012. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada
Ghofur, Abdul Anshori. 2006. Filsafat Hukum Sejarah, Aliran dan Pemaknaan. Yogyakarta:
Gajah Mada University Press
Mertokusumo, Sudikno. 1999. Mengenal Hukum Suatu Pengantar. Yogyakarta: Liberty
Yogyakarta
Soekanto, Soerjono. 2011. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta:
PT. RajaGrafindo Persada
Soekanto,Soerjono dan Mustafa Abdullah. 1987. Sosiologi Hukum dalam Masyarakat.
Jakarta: Rajawali Press
Sunarso, Siswanto. 2005. Penegakan Hukum Psikotropika, Kajian Sosiologi Hukum. Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada
Supriadi. 2008. Hukum Lingkungan di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika
Thoha, Miftah. 2003. Birokrasi dan Politik di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada








10 comments: